Adam dan Hawa
Matahari baru saja akan tenggelam,
sinar oranyenya mulai merendah. Menerangi setengah dari gedung-gedung pencakar
langit yang menjulang dengan sombongnya, menutupi orang-orang yang ramai lalu
lalang di kaki-kakinya. Beberapa orang mengenakan setelan jas lengkap, membawa
tas hitam. Wajah mereka terlihat resah, seperti biasa. masalah perkotaan.
Sedangkan yang lainnya hanya memakai pakaian kasual, celana jeans dan atasan
yang beraneka ragam. Tapi mereka tidak sendiri, tangan mereka menggeggam tangan
lain. Tangan yang sepertinya lebih mungil, dan halus dari pada tangan mereka.
mereka berpasangan. Adam dan Hawa. Ditengah sibuknya sore itu, di tengah
tegangnya raut wajah yang lalu lalang, masih ada mereka yang berbahagia hari itu.
mereka yang berpasangan, Adam dan Hawa. Mereka yang seberat apapun hari yang
mereka jalani, tetap akan akan wajah penuh senyum yang menunggu mereka di luar
gedung pencakar langit. Wajah penuh senyum yang siap memeluk mereka saat mereka
lelah, siap menyeka keringat mereka saat mereka kelelahan. Siap mengisi kembali
tenaga mereka yang sudah diperas oleh kota besar. Mereka yang berpasangan. Adam
dan Hawa.
Sudahlah, semua ini tidak
penting. Tidak ada cinta sejati di dunia ini, mereka hanya berpura-pura untuk
mendapatkan apa yang mereka inginkan. Pria mencintai untuk mendapatkan seks,
wanita mencintai agar perekonomian mereka ada yang menanggung, ada yang membelikan
mereka barang-barang yang mereka inginkan. Selalu begitu. Pikir Jody saat
melihat mereka yang berpasangan, Adam dan Hawa. Hatinya sakit, disetiap kali ia
mengedipkan mata. Malam sudah datang, seluruh kota sudah gelap, udara sudah
mulai dingin. Jody menaikan sleting jaket wolnya, menutupi tubuhnya yang hanya
mengenakan kemeja yang biasa ia kenakan saat kerja. Ia memang baru saja pulang
kerja. Tapi sepertinya saat ini ia tidak sedang ingin pulang, ia ingin
minum-minum sedikit. Lagi pula apa yang akan dia lakukan sendirian di
apartemennya, ia kesepian, dan sakit hati. Kakinya berhenti di sebuah bar, ia
melihat lampu yang menyala membentuk huruf-huruf “SUN bar and resto.”
Sepertinya ia tidak lapar, tapi ia haus. Sedikit alkohol sepertinya
menyenangkan, terutama untuk hatinya. Setidaknya ia bisa cepat tidur malam ini,
setidaknya.
“memangnya mabuk-mabukan hanya
untuk pria? Mengapa pria selalu berpikir wanita itu lemah, mereka selalu merasa
lebih kuat. Lebih pintar, hingga bisa membodohi wanita.” Entah mengapa Jody
jadi begitu marah, ia sendiri juga tidak tahu. mungkin pengaruh alkohol, dan
hatinya yang hancur. “wow. Sabar nona, saya hanya berbicara.” Wajah pria itu
jadi agak kikuk. Mereka berdua merasa linglung. Terutama Jody, ia jadi merasa
tidak enak. “kau tahu kan, alkohol.” Jody megangkat gelas kosongnya. Pria itu
tersenyum, “baiklah, salahkan alkohol.” “nama saya Sam.” “Jody”. Mereka saling
berjabat tangan. “oke Jody, sepertinya kau harus menghentikan minum-minummu
sebelum kau terlalu mabuk untuk pulang.” Senyuman tersungging di bibir Sam.
“itu urusanku, lagi pula siapa yang peduli.” “aku peduli.” Jawab Sam lalu
meneguk birnya. “apa pedulimu?” Jody terlihat skeptis. “karena kau wanita, dan
wanita tidak cocok mabuk-mabukan.” Jawab Sam santai. “apakah kau berharap aku
akan mengajak mu bercinta karena kebaikanmu ini.” Sam memandang wajah Jody.
“kau terlalu jauh. Mungkin kita harus menyalahkan alkohol untuk ini.”
“sudahlah, aku sudah muak dengan kemunafikan ini.” Jody meraih tasnya, ia
mengeluarkan beberapa lembar uang lalu meletakannya di atas meja. Ia berdiri,
sekilas memandang Sam lalu berjalan pergi dari bar. Tetapi saat ia mencoba mendorong
pintu bar, ternyata pintu itu lebih berat dari perkiraannya. Bukannya membuka
pintu, ia malah terjatuh. Lagi-lagi salah alkohol. Sam dengan sigap
menghampirinya, ia mengangkat tubuh Jody. “kau tidak bisa pulang dengan keadaan
seperti ini. biar ku antarkan. Beritahu aku dimana apartemenmu?” Sam memanggil
taksi, lalu ia dan Jody masuk ke dalam taksi. Beberapa menit kemudian taksi itu
sudah sampai disebuah gedung apartemen yang cukup besar, mereka keluar dari
taksi. Sam mengantar Jody hingga apartemennya, ia melempar tubuh Jody yang
sudah mabuk berat ke atas tempat tidur. Jody tidak sadarkan diri malam itu.
Jody terbangun saat cahaya
matahari yang hangat menyinari wajahnya, ia masih mengenakan sepatu dan jaket
mantelnya. Ia kaget, dan bangun cepat-cepat. Ia memeriksa tubuhnya, ternyata ia
masih berpakaian lengkap. Tas dan barang-barang berharganya pun tergeletak di
sisinya. Apa yang terjadi semalam, ia hanya ingat ia sedang minum di bar.
Tiba-tiba kepalanya pening, ia berusaha mengingat apa yang terjadi selanjutnya.
Akhirnya ia ingat, ia berkenalan dengan seorang pria. Jody berusaha mengingat
namanya, namanya Sam. Ya, namanya Sam. Jody juga menemukan sebuah catatan kecil
di dekatnya, catatan itu bertuliskan “wanita memang tidak cocok mabuk-mabukan,
kunci apartemenmu aku letakan di dalam vas bunga. Istirahatlah, tenangkan
dirimua. Sam” ternyata benar, Sam lah yang mengantar ia pulang. Pria yang baru
saja ia kenal semalam, dan ternyata ia memang orang baik. Jody mengambil
beberapa obat penghilang sakit kepala, lalu meminumnya agar sakit kepalanya
hilang.
Hari ini setelah bekerja Jody
sengaja menyempatkan waktu untuk mampir ke bar itu lagi, ia berharap bertemu
lagi dengan Sam. Ia ingin berterima kasih atas pertolongannya, mungkin saja
semalam bisa sangat berbahaya untuknya. Suasana cukup ramai saat Jody masuk,
suara tawa dari restaurant terdengar sangat keras. Tapi ia memusatkan diri ke
arah bar, beberapa pria tengah duduk minum-minum. Jody mendekati mereka, ia
mencoba mengingat-ngingat wajah Sam. Siapa tahu ia memang suka minum-minum
disini, beberapa pria ia datangi. Ternyata memang hari itu Jody sedang beruntung,
ia melihat Sam tengah duduk. Ia mengenakan kemeja biru. Jody menghampirinya.
“hey wanita pemabuk.” Ujar Sam saat melihat Jody duduk di sebelahnya. “aku
minta maaf tentang apapun yang terjadi semalam, aku sedang mabuk.” Jody
memandangi wajah Sam. “aku tahu, kau sendiri yang bilang.” Sam memutar-mutar
botol birnya. Raut wajah Jody terlihat sangat menyesal, Sam tidak dapat menahan
tawanya. “baiklah Jody, kau ku maafkan. Jangan terlalu kaku seperti itu.”
sebuah senyuman akhirnya mengembang di bibir Jody. “baiklah, untuk permintaan
maaf. Bagaimana jika aku traktir makan malam?” “aku tidak lapar.” Sam menolak.
“ayolah, kau pasti lapar. Aku tahu kau belum makan malam, aku dapat mencium bau
orang kelaparan disini.” Sam tersenyum, dan berpikir sejenak. “baiklah.” Jody
tersenyum. Mereka akhirnya pindah ke bagian Restaurant, dan memesan makanan.
Mereka tidak henti-hentinya bercanda saat makan, banyak hal yang jadi topik
pembincangan yang menyenangkan bagi mereka. untuk beberapa hal, mereka
sepertinya cocok. Hingga akhirnya malam semakin larut, mereka memutuskan untuk
pulang. Namun sebelum pulang, Sam memberanikan diri untuk menanyakan apakah
mereka bisa bertemu lagi di sana besok? Jody senang mendengarnya, tanpa ragu ia
mengatakan iya. Setelah itu mereka jadi sering bertemu di bar itu, dan Jody
seperti menemukan kembali kebahagiaannya. Ia seperti mendapatkan kembali apa
yang selalu membuatnya bersemangat di hari terberatnya. Adam dan Hawa.
Sudah beberapa bulan ini
mereka saling bertemu, dan hubungan mereka pun semakin dekat. “bagaimana jika
malam ini aku antar kau pulang, kau harus adil. Aku juag ingin melihat rumahmu
sekali-kali.” Jody menggenggam tangan Sam. Sam berpikir keras. “ayolah.” Rayu Jody.
“baiklah, tidak masalah.” Jody tersenyum, ia melambaikan tangan dan taksi
berhenti tepat di dekat mereka berdua. Mereka naik ke taksi itu. beberapa menit
kemudian taksi itu berhenti di sebuah rumah yang terlihat cukup tua, dengan
keadaan yang agak berantakan dan cat yang sudah mengelupas. Halaman rumah itu
juga terlihat tidak terurus, dan rumah itu punya sedikit penerangan. “rumahmu
cukup menyeramkan.” Ujar Jody. “tidak, ini tidak seperti apa yang terlihat. Aku
hanya tinggal sendiri, dan ini rumah warisan orang tuaku. Kau tahu berapa biaya
yang diperlukan untuk perbaikan rumah? Cukup besar hingga aku harus menabung
terlebih dahulu.” Sam menjelaskan. “mampirlah kapan-kapan, dan kau tidak akan
berpikir rumah ini menyeramkan.” Sam mencium bibir Jody sebelum turun. Apa dia
menciumku? Apa tadi benar-benar bibirnya mendarat di bibirku? Hangat dan
lembut. Jody seperti melayang. “baiklah, sampai jumpa lagi.” Jody melambaikan
tangannya, dan Sam masuk ke dalam rumahnya. Jody terus saja memperhatikan Sam,
ia masih tidak bisa melupakan ciuman tadi. Tapi tiba-tiba semua rasa bahagianya
hilang. Jody melihat sesosok wanita dengan pakaian pengantin warnah putih
tergerai hingga menutupi kaki berdiri di dalam rumah Sam saat Sam membuka
pintu. Tidak, pakaian pengantin yang wanita itu kenakan tidak berwarna putih,
tapi berwarna merah. Seluruh tubuhnya di penuhi darah segar, terutama di bagian
perut. Jody memperhatikan lebih seksama, oh tidak. Ada sebuah daging
bergelantungan di perutnya. Itu bukan daging, itu isi perutnya yang terburai.
Wanita itu berdiri disana, mematung. Wajahnya yang sudah membiru terlihat
sangat menyeramkan, ia terus saja menatap Jody. Menatap tajam, dan menyeringai.
Wajah dan tengkuk Jody tiba-tiba tegang, udara juga terasa sangat panas. Sam
masuk ke dalam rumah, dan menghalangi wanita itu. namun saat Sam berbalik dan
melambaikan tangan ke arah Jody, wanita itu sudah menghilang. Ia menghilang
begitu saja. Jody merinding. Ia melambaikan tangannya, lalu dengan cepat
menyuruh supir taksi untuk pergi. Wanita itu menghilang begitu saja, padahal ia
melihat dengan mata kepala sendiri. Wanita itu berdiri di sana.
“mampirlah ke rumah ku. Sekali
ini saja, aku ingin meneraktirmu makan malam di rumahku.” Sam memohon. “tidak
bisakah kau mentraktirku makan malam disini saja.” Sesungguhnya Jody sangat
senang Sam mengajaknya ke rumahnya, tapi saat ia mengingat sosok wanita itu.
rasa senang itu hilang begitu saja. “ku mohon, aku sudah menyiapkan makan malam
yang istimewa.” Sam terus saja memohon seraya menggenggam tangan Jody. Melihat
wajahnya yang sangat memohon, akhirnya Jody luluh. Lagi pula mungkin ia salah
liat malam itu, mungkin ia tengah lelah hingga berhalusinasi. “baiklah.” Sam
terlihat sangat senang, ia menggenggam tangan Jody dan meninggalkan bar. Tidak
butuh waktu lama untuk mereka mendapatkan taksi malam itu, dan taksi itu
langsung meluncur ke rumah Sam. Sepanjang perjalanan Jody merasa sedikit risau,
tapi ia mencoba membuang perasaan itu. taksi berhenti tepat di depan rumah Sam,
mereka keluar dari taksi. Sam membayar ongkos taksi, lalu taksi itu pergi.
“selamat datang di rumahku, tenang saja. Ini tidak seburuk keliatannya.” Mereka
berdua masuk ke dalam rumah itu. sam mencoba membuka pintu rumah, jantung Jody
berdetak cepat. Dibalik pintu inilah ia melihat sosok wanita itu, ia
menggenggam kuat tangan Sam saat pintu terbuka. ternyata tidak ada apa-apa
dibalik pintu, mungkin itu hanya halusinasinya saja.
Jody masuk ke dalam rumah Sam,
ternyata memang benar apa kata Sam. Rumahnya tidak seburuk apa yang terlihat,
bahkan cukup menyenangkan. Bagian dalam rumah itu sangat nyaman, dengan cat
krem dan beberapa sofa di ruang tamu. Rumah Sam bergaya klasik, banyak pernak
pernik tua yang masih terlihat sangat baru. Ada sebuah pajangan malaikat,
wanita-wanita pedesaan, dan pernak pernik hewan. Semua itu terbuat dari
porselen, sangat manis. Cahaya yang redup sepertinya memang sengaja untuk
membuat rumah itu terlihat hangat, mereka melewati ruang tamu menuju ruangan
yang ada di bagian tengah rumah itu. “buka dulu jaketmu.” Sam membantu Jody
membuka jaketnya, lalu ia menggantung jaket itu di gantungan kayu di sisi
ruangan. Saat memasuki ruang tengah, Jody kaget. Di depannya berdiri sebuah
meja yang cukup besar, dan sudah tertata rapih. Alas meja berwarna putih,
piring-piring yang juga berwarna putih terlihat berkilauan diantara cahaya
lilin. Sendok dan garpu di tata sangat manis di sisi piring, juga serbet yang
dilipat dengan pola kupu-kupu. Semua tertata rapih. “kau sengaja membuat ini?”
tanya Jody. “kejutan.” Sam tersenyum, lalu dengan lembut mencium pipi Jody.
“duduklah dulu, aku akan ambilkan makanannya.” Sam menarik sebuah kursi lalu
mempersilahkan Jody untuk duduk di atasnya. Sam pergi ke dapur selama beberpa
menit, dan ketika ia keluar. Ia membawa beberapa piring lagi berisi makanan,
sebuah spaghetti di mangkuk besar dan salad. Ia meletakannya di atas meja, lalu
pergi lagi. Saat kembali ia membawa dua buah gelas besar dan sebotol anggur.
Sam meletakan beberapa sendok spagetti di piring Jody, dan menuangkan anggur di
gelasnya. Makan malam itu sangat sempurna, spaghetti buatan Sam ternyata cukup
enak. Jody merasa sangat tersanjung dengan usaha Sam. Ia hanyut akan suasana
malam itu, mereka berdua hanyut dalam suasana malam itu. walaupun makan malam
sudah selesai, tapi mereka tidak beranjak dari meja. Mereka terus saja
berbincang dan menenggak anggur. Hingga akhirnya anggur itu habis. “biar ku
ambilkan lagi, aku masih menyimpan beberapa di ruang bawah tanah. Tunggu saja.”
“baiklah.” Jody menjawab dengan nada suara yang halus, lalu Sam mengecup lagi
bibirnya. Mereka berdua benar-benar mabuk kepayang. Sam pergi ke ruang bawah
tanah untuk mengambil anggur, sedangkan Jody hanya memutar-mutar garpu di atas
piring.
Jody mendengar suara piring
beradu, tapi tidak terlalu keras. Ia tidak mengubrisnya, ia masih saja memainkan
garpunya. Tapi saat Jody mengangkat kepalanya, dadanya seakan terbakar. Ia
tidak duduk sendiri, empat orang wanita duduk di kursi kosong di sisi kanan dan
kirinya. Keempat wanita itu terlihat sangat pucat, bahkan wajah mereka sudah
membiru. Beberapa diantara mereka memiliki luka lebam yang sudah menghitam di
wajah mereka, dan baju yang mereka kenakan sudah sangat kotor. Penuh bercak
darah. Yang lebih menyeramkan adalah wanita-wanita itu tidak memiliki organ
yang utuh. Salah satu diantara mereka tidak memiliki tangan, tangannya seperti
diamputasi dengan kasar dan terus mengeluarkan darah. Seorang wanita tidak
memiliki jantung, dadanya rusak. Seperti di cabik. Seorang lagi tidak memiliki
rambut, kepalanya seperti di robek. Hanya menyisakan kulit kepala yang
terkoyak, kulit kepala yang kemerahan. Jody juga menyadari bahwa wanita yang
terakhir hanya memiliki separuh tubuh, sedangkan separuh tubuhnya hilang. Kulit
wajahnya juga hilang, seperti dikuliti dengan kejam. Seluruh wanita itu menatap
Jody tajam, mereka menggeram marah. mereka siap mencekik atau menguliti
Jody. “Sam dimana kau, kembalilah. Tolong aku.” Jody ingin sekali berteriak,
tapi bibirnya kelu. Ia mendorong tubuhnya dari meja, hingga terjatuh ke
belakang. Ia mencoba melarikan diri ke lantai dua, anak tangga yang ia naiki
berdebam saat kakinya melangkah dengan keras. Ia masuk kedalam kamar yang
pertama ia temui saat sampai di lantai dua, ia langsung menutup pintu.
keras. Lalu menguncinya. Ia membalikan tubuhnya dan melihat ruangan apa
yang ia masuki. Ternyata itu adalah kamar tidur, beruntunglah Jody. Tapi ada
yang aneh dengan kamar itu, suhunya sangat dingin. Bahkan lebih dingin dari
pendingin ruangan manapun, kamar ini dapat membuat orang beku dalam beberapa
jam. Seperti lemari pendingin untuk daging hewan, sangat dingin. Kamar itu
terlihat rapih, beberapa pita putih terlihat menggantung di langit-langit.
Sebuah tempat tidur cukup besar berada di sisi belakang kamar, tempat tidur
dengan penyangga yang cukup megah. Seprainya yang putih, dan beberapa tirai
yang bergelantungan diantar tiang-tiang tempat tidur itu menambah kesan mewah.
Di dinding kamar itu juga
banyak foto-foto yang sengaja di pasang, beberapa berukuran cukup besar.
Foto-foto itu seperti foto pernikahan, seorang pria dan wanita mengenakan
pakaian pernikahan. Mereka tersenyum bahagia, si pria dan si wanita. Tapi Jody
sepertinya mengenal sosok pria itu, mengenal dengan baik. Pria itu adalah Sam,
ya itu Sam. Hanya saja terlihat jauh lebih muda, dan wanita itu adalah…. wanita
yang ia lihat di depan pintu rumah ini. iya, itu adalah wanita yang Jody lihat
malam itu. hanya saja pakaian pengantinnya tidak penuh darah, dan perutnya
tidak terburai. Jody merasa pening, ia kehilangan keseimbangan. Ia berusaha
mencari pegangan, Jody berpegangan pada sebuah meja dengan beberapa laci di
bawahnya. Meja itu diletakan di dekat pintu, Jody berpegangan erat pada meja
itu. banyak sekali kertas-kertas berserakan di atas meja, beberapa kertas dari
rumah sakit. Seperti laporan kesehatan atau semacamnya, Jody mengambil beberapa
lalu membacanya. Itu memang laporan kesehatan, atas nama Maria. Laporan itu
adalah laporan perkembangan sel kanker yang semakin parah, Jody berusaha
membacanya lagi. Kanker darah. Saat Jody tengah membaca, tiba-tiba ia mendengar
suara benda jatuh dari arah tempat tidur. Jantung Jody berdetak cepat, napasnya
berat. Bahkan di kamar sedingin itu Jody masih saja berkeringat, ia benar-benar
tegang. Perlahan-lahan Jody melangkahkan kakinya ke tempat tidur itu, ia
melirik untuk melihat apa yang ada di atasnya. Jody kembali merasa pening di
kepalanya, darahnya juga terpompa sangat cepat.
“Kau sudah bertemu Maria?
Wanita yang sangat aku cintai seumur hidupku. Aku dan Maria bertemu saat
sekolah menengah, saat melihat senyumnya aku tahu bahwa aku jatuh cinta
padanya.” Sam melirik ke arah Jody. “kami benar-benar saling mencintai saat
itu, bahkan aku melamarnya saat lulus sekolah menengah. Orang tuaku menghadiahi
rumah ini untuk ku setelah kami menikah.” Sam mendekati Jody yang terus saja
mencoba membuka tali ikatannya. “kami sangat bahagia, kami menikmati setiap
tahun pernikahan kami. Tapi saat itu aku sangat sibuk, hingga aku tidak
memperhatikannya. Maria yang malang, Maria yang aku sayangi.” Sam menerawang,
pikirannya melayang ke masa lalu. “harusnya saat ia pertama kali mengeluhkan
sakit, aku membawanya ke rumah sakit. Bukannya sibuk bekerja, aku masih sangat
muda. Aku tahu kami membutuhkan banyak uang, tapi tentu uang bukan segalanya.
Aku tidak menyadari itu.” mata Sam berkaca-kaca. Setetes air mata jatuh.
“hingga akhirnya Maria divonis mengidap kanker darah. Aku sudah menyuruh dokter
mengobatinya, berapapun biayanya. Tapi mereka malah mengangkat bahu mereka, dan
mengatakan kanker itu sudah parah. Maria tidak tertolong lagi.” Seketika wajah
Sam terlihat sangat marah. “dokter-dokter bodoh itu tidak dapat menolong Maria,
mereka membiarkan wanita yang aku cintai mati.” “jika mereka tidak dapat
memperbaiki Maria, aku yang akan memperbaikinya.” “aku tidak akan membiarkan
mereka mengubur Mariaku, oleh karena itu aku membawanya pulang. Memakaikannya
baju pengantin kami, ia bahkan masih terlihat cantik. Kami masih mengabiskan
waktu bersama-sama setiap malam.” Sebuah senyuman mengambang di bibir Sam.
“hingga akhirnya Mariaku mulai membusuk, setiap organ tubuhnya mulai hancur.
Aku membeli banyak sekali pendingin ruangan untuk menjaganya, tapi tidak
berguna. Hingga akhirnya aku menyadari bahwa aku harus mencarikan organ baru
untuk mariaku.” Jody menelan ludahnya, tenggorokannya seperti tercekik saat
mendengar itu. “mereka adalah wanita-wanita yang sudah baik hati menyumbang,
obat bius membuat mereka baik hati.” Sam melanjutkan. “dan saat aku bertemu kau
di bar itu, aku baru menyadari bahwa kau mempunyai mata yang sama dengan Maria.
Kau sangat cocok jadi pendonor mata untuknya.” Sam mengangkat tangannya, ia
sudah menggenggam sebuah pisau bedah berwarna perak. Terbuat dari stainless,
dan sangat tajam. Dapat merobek kulit manusia dengan satu sayatan. “kau adalah
pendonor mata untuk Mariaku, terima kasih Jody.” Sam mendekati Jody, ia
memegangi kepala Jody. Ia mengarahkan pisau itu ke mata Jody, begitu dekat
dengan bola matanya. Jody dapat melihat mata pisau itu, sangat tajam. Jody
berusaha berontak, tapi dengan ikatan di tubunya dan tangan Sam yang menahan
kepalanya, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Pisau itu mulai menyayat kantung mata
Jody, Jody meraskan perih yang menyengat. Darah mulai mengalir dari luka
sayatan itu, darah yang terasa panas di wajah Jody.
“tenanglah sayang, semua akan
baik-baik saja. Semua sudah berakhir.” Ucap Maria saat Sam sedang sekarat,
hingga akhirnya Sam meninggal dunia. Maria pun menghilang. Jody menjatuhkan
pisau yang ia pegang, lalu dengan terseok-seok keluar dari ruang bawah tanah.
Saat melewati meja makan ia bertemu dengan keempat wanita korban Sam, mereka
tersenyum. “terima kasih Jody.” Lalu mereka menghilang. Ketika berhasil keluar
dari rumah Sam, Jody menghubungi polisi. Beberapa menit kemudian polisi sudah
memenuhi rumah Sam, mereka menemukan mayat Maria di lantai atas dan juga mayat
keempat gadis itu. Sam bersalah atas empat pembunuhan yang ia lakukan, tapi
polisi tidak bisa melakukan apa-apa. Sam di temukan sudah meninggal, dan Jody
harus melewati beberapa pemeriksaan yang cukup panjang. Akhirnya Jody di
lepaskan, ia tidak di kenakan tuntuan apa-apa karena ia membela diri. Jody
harus menerima bahwa kantung matanya di jahit, dan luka jahitan itu tidak akan
hilang seumur hidup. Tapi itu masih lebih baik, setidaknya Jody masih hidup dan
matanya masih ada di tempatnya. Saat melihat luka jahitan itu, Jody langsung
teringat akan Sam. Sam yang malang…
ngeri Ndro
BalasHapushehehe,, makanya cepet2 tobat...
Hapuskasih kritik dan saranya dong, makasih..