PARAMETER SEBUAH KEJUJURAN (AMANAH)
Saudaraku..
Suatu hari seseorang pernah memberi kesaksian di hadapan
Umar bin Khattab ra seraya berkata, “Sesungguhnya si Fulan itu adalah seorang
yang jujur.”
Umar berkata, “Apakah engkau pernah menemaninya dalam sebuah
perjalanan?.”
Ia berkata, “Belum.”
“Apakah engkau pernah berinteraksi dengannya dalam masalah
keuangan?.” Kata Umar selanjutnya.
Ia menjawab, “Belum.”
“Apakah engkau pernah memberi kepercayaan (amanah) kepadanya?.”
Kata Umar.
Ia menjawab, “Belum.”
Umar menyimpulkan, “Berarti (sejatinya) engkau belum
mengenalnya. Barangkali penilaianmu ini berdasarkan pada kebiasaannya ruku’ dan
sujud di masjid.”
(Mawa’izh as shahabah, Shalih Ahmad al Syami).
Dari dialog antara Amirul mukminin; Umar bin Khattab ra dan
salah seorang dari rakyatnya ini dapat kita petik beberapa hikmah dan
pelajaran. Yang dapat kita jadikan lentera dalam hidup kita. Di antaranya:
• Hendaknya seorang pemimpin atau pemilik kekuasaan atau
wakil rakyat menjaga kedekatan dan hubungan yang mesra dan harmonis dengan
rakyat dan masyarakatnya. Tidak menjaga jarak, apalagi menjauhi rakyatnya. Juga
tidak merapat dan memihak kepada lapisan tertentu dan menjauhi serta menohok
lapisan masyarakat yang lain. Karena seluruhnya menjadi tanggung jawabnya di
hadapan Allah swt kelak.
• Di antara bukti pemimpin yang adil dan amanah adalah ia
tidak memilih wakil, pegawai dan bawahannya, melainkan orang-orang yang jujur
dan amanah pula. Walaupun sebelumnya mereka tidak dikenal publik dan tidak
memiliki pengikut atau fans yang memadai.
• Sering kali kita menilai keshalihan seseorang dan mengukur
sebuah amanah dan kejujurannya dari tampilan luar semata. Mungkin kita
melihatnya rajin shalat, khusyu’ dalam berdo’a, menghidupkan shalat-shalat
sunnah di masjid dan yang senada dengan itu. Padahal itu semua terkait dengan
yang di Atas. Sejatinya, nilai amanah dan kejujuran itu diukur dari interaksi
kita dan kelurusan muamalah kita dengan yang di bawah. Di atas bumi. Yakni,
manusia di sekitar kita.
• Dalam safar (perjalanan) akan tampak watak dasar dan
kepribadian asli kita. Apakah kita tipe orang yang egois, penyabar, suka
melayani yang lain, dan sifat-sifat lainnya. Artinya putih atau hitamnya jejak
kita, terlihat ketika kita berada dalam perjalanan. Jika kita berkunjung ke
wilayah timur India, tepatnya di West Bengal. Kita temukan di kaca depan bis
(depan supir) di sana tertulis satu ungkapan “Khuluquka ta’arufuk” yang artinya
akhlakmu adalah identitasmu. Maksudnya keberadaan kita di bis hanya beberapa
menit atau beberapa jam saja. Tapi jika kita mampu menampilkan kepribadian yang
memikat, maka kita akan dikenang oleh orang lain. Sebaliknya budi pekerti yang
tercela dalam bergaul dengan orang lain, akan melahirkan jejak-jejak keburukan
pula.
• Pengalaman hidup mengajari kita, bahwa banyak orang yang
prestasi ibadahnya di hadapan manusia sangat mengagumkan. Tapi dalam interaksi
harta, tidak sedikit meninggalkan catatan buruk di hati banyak orang. Misalnya;
meremehkan persoalan hutang. Bahkan sebagiannya terkesan, tidak mau melunasi
hutang-hutangnya dan cuek bebek dengan tanggungan-tanggungannya terhadap orang
lain. Padahal dalam do’a pagi dan petang, Nabi saw menyandingkan hutang dengan
penjajahan, “wa audzubika min ghalabatin daini wa qahrir rijal” (aku berlindung
kepada-Mu dari lilitan hutang dan dominasi orang lain). Artinya hutang sama
saja dengan penjajahan. Orang yang rela dirinya terkungkung dalam hutangnya,
berarti ia rela berada dalam jajahan orang lain. Terlebih hutang yang tak
terbayarkan sampai kita menghadap Allah swt, maka ia akan menjadi penghalang
bagi kita masuk ke dalam surga. Nabi menegaskan, “Orang yang mati syahid akan
terampuni seluruh dosanya terkecuali hutang, hingga ia dibayarkan.” HR. Ahmad.
• Pemandangan umum yang sering kita saksikan pula bahwa
banyak titipan yang disia-siakan dan tidak sedikit amanah yang diabaikan. Jika
amanah itu berupa barang dan harta benda, maka ia akan berkurang. Karena orang
yang diberi amanah akan memanfaatkan titipan tersebut semaksimal mungkin. Kalau
tidak kita katakan, melampaui batas kewajaran. Sebaliknya, jika amanah itu
berupa ucapan. Atau titipan omongan. Maka yang diberi amanah juga melebarkan
dan mengembangkan amanah tersebut sehingga menjadi issu besar dan menghebohkan.
• Jadi nilai sebuah amanah atau makna kejujuran, diukur dari
seberapa besar kita mampu menjaga identitas kita dalam sebuah perjalanan atau
safar. Keamanahan kita dalam berinteraksi harta dan kelurusan kita dalam
menjaga barang titipan orang lain yang dipercayakan kepada kita.
Saudaraku..
Sudahkah kita tergolong orang-orang yang amanah dan jujur?
Semoga demikian adanya. Amien. Wallahu a’lam bishawab.
Sumber:Status Ustadz Abu Ja’far
(http://www.facebook.com/profile.php?id=100000992948094)
semoga saya tergolong orang yang amanah juga ya,,,aminnn
BalasHapusamiiiin.. masukan dan sarannya dong mbak, apa yang harus di perbaiki dari blog saya ini..
Hapus