Senin, 17 Desember 2012

2

PARAMETER SEBUAH KEJUJURAN (AMANAH)



Saudaraku..
Suatu hari seseorang pernah memberi kesaksian di hadapan Umar bin Khattab ra seraya berkata, “Sesungguhnya si Fulan itu adalah seorang yang jujur.”
Umar berkata, “Apakah engkau pernah menemaninya dalam sebuah perjalanan?.”
Ia berkata, “Belum.”
“Apakah engkau pernah berinteraksi dengannya dalam masalah keuangan?.” Kata Umar selanjutnya.
Ia menjawab, “Belum.”
“Apakah engkau pernah memberi kepercayaan (amanah) kepadanya?.” Kata Umar.
Ia menjawab, “Belum.”
Umar menyimpulkan, “Berarti (sejatinya) engkau belum mengenalnya. Barangkali penilaianmu ini berdasarkan pada kebiasaannya ruku’ dan sujud di masjid.”
(Mawa’izh as shahabah, Shalih Ahmad al Syami).
Saudaraku..


Dari dialog antara Amirul mukminin; Umar bin Khattab ra dan salah seorang dari rakyatnya ini dapat kita petik beberapa hikmah dan pelajaran. Yang dapat kita jadikan lentera dalam hidup kita. Di antaranya:

• Hendaknya seorang pemimpin atau pemilik kekuasaan atau wakil rakyat menjaga kedekatan dan hubungan yang mesra dan harmonis dengan rakyat dan masyarakatnya. Tidak menjaga jarak, apalagi menjauhi rakyatnya. Juga tidak merapat dan memihak kepada lapisan tertentu dan menjauhi serta menohok lapisan masyarakat yang lain. Karena seluruhnya menjadi tanggung jawabnya di hadapan Allah swt kelak.

• Di antara bukti pemimpin yang adil dan amanah adalah ia tidak memilih wakil, pegawai dan bawahannya, melainkan orang-orang yang jujur dan amanah pula. Walaupun sebelumnya mereka tidak dikenal publik dan tidak memiliki pengikut atau fans yang memadai.

• Sering kali kita menilai keshalihan seseorang dan mengukur sebuah amanah dan kejujurannya dari tampilan luar semata. Mungkin kita melihatnya rajin shalat, khusyu’ dalam berdo’a, menghidupkan shalat-shalat sunnah di masjid dan yang senada dengan itu. Padahal itu semua terkait dengan yang di Atas. Sejatinya, nilai amanah dan kejujuran itu diukur dari interaksi kita dan kelurusan muamalah kita dengan yang di bawah. Di atas bumi. Yakni, manusia di sekitar kita.

• Dalam safar (perjalanan) akan tampak watak dasar dan kepribadian asli kita. Apakah kita tipe orang yang egois, penyabar, suka melayani yang lain, dan sifat-sifat lainnya. Artinya putih atau hitamnya jejak kita, terlihat ketika kita berada dalam perjalanan. Jika kita berkunjung ke wilayah timur India, tepatnya di West Bengal. Kita temukan di kaca depan bis (depan supir) di sana tertulis satu ungkapan “Khuluquka ta’arufuk” yang artinya akhlakmu adalah identitasmu. Maksudnya keberadaan kita di bis hanya beberapa menit atau beberapa jam saja. Tapi jika kita mampu menampilkan kepribadian yang memikat, maka kita akan dikenang oleh orang lain. Sebaliknya budi pekerti yang tercela dalam bergaul dengan orang lain, akan melahirkan jejak-jejak keburukan pula.

• Pengalaman hidup mengajari kita, bahwa banyak orang yang prestasi ibadahnya di hadapan manusia sangat mengagumkan. Tapi dalam interaksi harta, tidak sedikit meninggalkan catatan buruk di hati banyak orang. Misalnya; meremehkan persoalan hutang. Bahkan sebagiannya terkesan, tidak mau melunasi hutang-hutangnya dan cuek bebek dengan tanggungan-tanggungannya terhadap orang lain. Padahal dalam do’a pagi dan petang, Nabi saw menyandingkan hutang dengan penjajahan, “wa audzubika min ghalabatin daini wa qahrir rijal” (aku berlindung kepada-Mu dari lilitan hutang dan dominasi orang lain). Artinya hutang sama saja dengan penjajahan. Orang yang rela dirinya terkungkung dalam hutangnya, berarti ia rela berada dalam jajahan orang lain. Terlebih hutang yang tak terbayarkan sampai kita menghadap Allah swt, maka ia akan menjadi penghalang bagi kita masuk ke dalam surga. Nabi menegaskan, “Orang yang mati syahid akan terampuni seluruh dosanya terkecuali hutang, hingga ia dibayarkan.” HR. Ahmad.

• Pemandangan umum yang sering kita saksikan pula bahwa banyak titipan yang disia-siakan dan tidak sedikit amanah yang diabaikan. Jika amanah itu berupa barang dan harta benda, maka ia akan berkurang. Karena orang yang diberi amanah akan memanfaatkan titipan tersebut semaksimal mungkin. Kalau tidak kita katakan, melampaui batas kewajaran. Sebaliknya, jika amanah itu berupa ucapan. Atau titipan omongan. Maka yang diberi amanah juga melebarkan dan mengembangkan amanah tersebut sehingga menjadi issu besar dan menghebohkan.

• Jadi nilai sebuah amanah atau makna kejujuran, diukur dari seberapa besar kita mampu menjaga identitas kita dalam sebuah perjalanan atau safar. Keamanahan kita dalam berinteraksi harta dan kelurusan kita dalam menjaga barang titipan orang lain yang dipercayakan kepada kita.

Saudaraku..
Sudahkah kita tergolong orang-orang yang amanah dan jujur? Semoga demikian adanya. Amien. Wallahu a’lam bishawab.

Sumber:Status Ustadz Abu Ja’far
(http://www.facebook.com/profile.php?id=100000992948094)

2 komentar:

  1. semoga saya tergolong orang yang amanah juga ya,,,aminnn

    BalasHapus
    Balasan
    1. amiiiin.. masukan dan sarannya dong mbak, apa yang harus di perbaiki dari blog saya ini..

      Hapus